KEBUDAYAAN BERBAHASA CAMPUR - CAMPUR
Saya pernah makan di sebuah restoran yang
menyajikan nama menunya dalam bahasa Inggris. Saya pikir mungkin ada
bule yang biasa makan disini. Tapi, kemudian otak sains saya sedikit
berkalkulasi, berapa persentase bule yang datang ketimbang yang non-bule
(orang Indonesia)? Lantas apa bagusnya jika nama menu makanan tersebut
ditulis dengan bahasa Inggris? Malah bisa saja ada orang yang tak
mengerti dengan nama menu tersebut, kemudian dipilihnyalah menu dengan
nama teraneh.
Saya juga pernah melihat informasi sebuah
acara yang ditulis menggunakan bahasa Inggris. Saya pikir awalnya acara
tersebut dihadiri oleh pembicara internasional. Tapi, pada kenyataannya
hanya dihadiri oleh pembicara lokal saja. Lantas, apa bagusnya
pengumuman tersebut menggunakan bahasa Inggris? Sementara acara tersebut
hanya berskala lokal dan tak ada keterlibatan pihak asing.
Penggunaan bahasa Inggris memang kerap
bercampur dengan bahasa Indonesia, sepertinya kita tak bangga dengan
bahasa sendiri. Rasanya kita perlu mengulas kembali penggunaan kata
serapan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing, yaitu
bisa melalui empat cara: yaitu adaptasi, adopsi, penerjemahan dan kreasi.
Barangkali kita patut belajar tentang
bagaimana bangsa Jepang yang begitu besar rasa percaya dirinya terhadap
bahasanya sendiri. Dalam kultur masyarakat Jepang, bahasa adalah bagian
dari budaya yang harus dijaga. Dalam bahasa Jepang, kita mengenal huruf
katakana untuk mengadaptasi kata serapan dari bahasa asing sehingga
dapat dilafalkan dengan khas lidah orang Jepang.
Dalam sebuah kuliah umum yang
pembicaranya orang Jepang—Okita Fumio, kuliah tersebut disampaikan
dengan dua bahasa—bahasa Jepang dan Indonesia—melalui penerjemah.
Sebenarnya Okita Fumio-san bisa berbahasa Inggris tapi ia sengaja
berbahasa Jepang. Alasannya membuat saya kagum, ia bangga dengan
bahasanya sendiri dan ingin orang lain tahu bahwa bahasa Jepang adalah
bagian dari kultur masyarakat Jepang.
Bahasa juga dapat menjadi identitas
budaya lokal setempat dan dengan mudah masyarakat luar dapat
mengetahuinya melalui ragam bahasa yang digunakannya. Ini juga
sebenarnya bisa menggambarkan pola tingkah laku manusianya. Bahkan
sewaktu di Malaysia, penggunaan bahasa Malay sering saya jumpai
ketimbang bahasa Inggris. Memang ada yang terasa janggal jika
diterjemahkan, tapi selama kita membiasakannya maka lama-lama juga akan
terbiasa.
Bedanya dengan budaya kita, belum
terlihat keren kalau belum menggunakan bahasa Inggris. Semakin sulit
dimengerti orang, maka akan semakin keren tingkatan berbahasanya. Bahkan
media lokal pun ikut-ikutan sok Inggris, apalah itu Indonesian Idol (Idola Indonesia?), Indonesia Lawyers Club (Klub Pengacara Indonesia?), Economic Challenge (Tantangan Ekonomi?), Tonight Show
(Pertunjukan Malam Ini?), dsb. Padahal segmen penontonnya adalah orang
yang sehari-harinya berbahasa Indonesia. Jikapun ditujukan untuk
menggaet penonton orang asing, kenapa sepanjang acaranya menggunakan
bahasa Indonesia?
Kalau dalam ranah sedang belajar bahasa,
saya pikir tidak apa-apa. Malah bagus jika kita sering melatihnya
melalui tulisan. Tapi, kalau penggunaan bahasa Inggris tersebut tak pada
tempatnya malah akan mengerdilkan bahasa kita sendiri. Padahal, dalam
pembacaan sumpah pemuda, bahasa Indonesia termasuk satu hal yang masuk
sumpah. Kenapa tak pakai bahasa Indonesia saja sih? *gemes*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar