Kamis, 25 Juni 2015

Kebudayaan Berbahasa Campur - Campur

KEBUDAYAAN BERBAHASA CAMPUR - CAMPUR


          Saya pernah makan di sebuah restoran yang menyajikan nama menunya dalam bahasa Inggris. Saya pikir mungkin ada bule yang biasa makan disini. Tapi, kemudian otak sains saya sedikit berkalkulasi, berapa persentase bule yang datang ketimbang yang non-bule (orang Indonesia)? Lantas apa bagusnya jika nama menu makanan tersebut ditulis dengan bahasa Inggris? Malah bisa saja ada orang yang tak mengerti dengan nama menu tersebut, kemudian dipilihnyalah menu dengan nama teraneh.

Saya juga pernah melihat informasi sebuah acara yang ditulis menggunakan bahasa Inggris. Saya pikir awalnya acara tersebut dihadiri oleh pembicara internasional. Tapi, pada kenyataannya hanya dihadiri oleh pembicara lokal saja. Lantas, apa bagusnya pengumuman tersebut menggunakan bahasa Inggris? Sementara acara tersebut hanya berskala lokal dan tak ada keterlibatan pihak asing.
Penggunaan bahasa Inggris memang kerap bercampur dengan bahasa Indonesia, sepertinya kita tak bangga dengan bahasa sendiri. Rasanya kita perlu mengulas kembali penggunaan kata serapan dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing, yaitu bisa melalui empat cara: yaitu adaptasi, adopsi, penerjemahan dan kreasi.
          Barangkali kita patut belajar tentang bagaimana bangsa Jepang yang begitu besar rasa percaya dirinya terhadap bahasanya sendiri. Dalam kultur masyarakat Jepang, bahasa adalah bagian dari budaya yang harus dijaga. Dalam bahasa Jepang, kita mengenal huruf katakana untuk mengadaptasi kata serapan dari bahasa asing sehingga dapat dilafalkan dengan khas lidah orang Jepang.

Dalam sebuah kuliah umum yang pembicaranya orang Jepang—Okita Fumio, kuliah tersebut disampaikan dengan dua bahasa—bahasa Jepang dan Indonesia—melalui penerjemah. Sebenarnya Okita Fumio-san bisa berbahasa Inggris tapi ia sengaja berbahasa Jepang. Alasannya membuat saya kagum, ia bangga dengan bahasanya sendiri dan ingin orang lain tahu bahwa bahasa Jepang adalah bagian dari kultur masyarakat Jepang.
          Bahasa juga dapat menjadi identitas budaya lokal setempat dan dengan mudah masyarakat luar dapat mengetahuinya melalui ragam bahasa  yang digunakannya. Ini  juga  sebenarnya  bisa  menggambarkan  pola  tingkah  laku  manusianya. Bahkan sewaktu di Malaysia, penggunaan bahasa Malay sering saya jumpai ketimbang bahasa Inggris. Memang ada yang terasa janggal jika diterjemahkan, tapi selama kita membiasakannya maka lama-lama juga akan terbiasa.
Bedanya dengan budaya kita, belum terlihat keren kalau belum menggunakan bahasa Inggris. Semakin sulit dimengerti orang, maka akan semakin keren tingkatan berbahasanya. Bahkan media lokal pun ikut-ikutan sok Inggris, apalah itu Indonesian Idol (Idola Indonesia?), Indonesia Lawyers Club (Klub Pengacara Indonesia?), Economic Challenge (Tantangan Ekonomi?), Tonight Show (Pertunjukan Malam Ini?), dsb. Padahal segmen penontonnya adalah orang yang sehari-harinya berbahasa Indonesia. Jikapun ditujukan untuk menggaet penonton orang asing, kenapa sepanjang acaranya menggunakan bahasa Indonesia?

Kalau dalam ranah sedang belajar bahasa, saya pikir tidak apa-apa. Malah bagus jika kita sering melatihnya melalui tulisan. Tapi, kalau penggunaan bahasa Inggris tersebut tak pada tempatnya malah akan mengerdilkan bahasa kita sendiri. Padahal, dalam pembacaan sumpah pemuda, bahasa Indonesia termasuk satu hal yang masuk sumpah. Kenapa tak pakai bahasa Indonesia saja sih? *gemes*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar